JAKARTA,fokuskota.com
SiSTEM politik Indonesia, sepenuhnya menggunakan sistem presidensil menyusul dilakukannya amandemen kedua UUD 1945. Dalam sistem presidensil, komunikasi antara presiden dengan para aktor utama penyelenggara negara dilakukan untuk memelihara stabilitas pemerintahan.
Demikian hal-hal yang mengemuka dan menjadi topik pembahasan dan perdebatan, terkait bagaimana sesungguhnya komparasi gaya
berkomunikasi Presiden Joko Widodo dan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (periode 2014-2019), menjadi benang merah yang mengemuka dalam Sidang Promosi Doktor Ilmu Pemerintahan, Program Pascasarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri, dengan Promovendus S. Aminuddin, di Kampus IPDN Jakarta kemarin.
Sidang terbuka Promosi Doktor di IPDN ini dipromotori oleh Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA dengan co-promor Prof Dr Erliana Hasan, M.Si
dan Dr Irwan Tahir, serta dihadiri Rektor Institut Pemerintahan Dalam
Negeri Dr Hadi Prabowo dan Direktur Program Pascasarjana IPDN Prof Dr
H Wirman Syafri, M.Si
Dalam kesempatan itu, Aminuddin, yang merupakan bagian dari pendiri gerakan PA 212 memaparkan, bahwa penelitian yang dilakukannya bertujuan mengkomparasi atau membandingkan gaya komunikasi presidensil antara Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (periode tahun 2009-2014 dan Presiden Joko Widodo
(periode tahun 2014-2019).
Untuk mengetahui detail keunikan gaya komunikasi Presiden SBY dan
Presiden Jokowi, metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus
komparatif dengan pendekatan kualitatif.
Menurut Aminuddin, penelitiannya juga menggunakan analisis isi (content analysis) untuk membandingkan gaya komunikasi retorika SBY dan Jokowi.
Dalam disertasi berjudul “Komparasi Gaya Komunikasi Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo Dalam Mewujudkan Satbilitas
Pemerintahan” diperoleh temuan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Presiden Joko Widodo telah melaksanakan komunikasi politik
presiden (komunikasi presidensil) secara baik. Komunikasi tersebut
dilakukan para aktor utama sistem presidensil, khususnya dengan DPR,
DPD, MK, MA, KPU, TNI dan Polri serta Publik yang diwakili Pers.
“Dari keberhasilan mengelola komunikasi politik presiden (komunikasi
presidensil), baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo, telah berhasil memelihara stabilitas pemerintahan dimana keduanya tidak pernah mengalami gridlock, policy deadlock dan apalagi
sampai menjatuhkan jabatan presiden,” kata Aminuddin.
Dalam pandangan intelektual Aminuddin, keberhasilan SBY dan Jokowi dalam berkomunikasi presidensil, juga berpengaruh pada penyelenggaraan negara yang berjalan lancar. Untuk itu, Presiden SBY lebih bertumpu membangun komunikasi yang kuat pada internal pemerintahannya. Sedangkan Presiden Jokowi cenderung membangun stabilitas politik melalui komunikasi hubungan eksekutif dan legislatif.
“Dalam melaksanakan komunikasi retorika, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memadukan retorika deliberatif dan retorika forensik.
Sedangkan retorika Presiden Joko Widodo (2014-2019) lebih dominan
deliberatif,” kata Aminuddin.
Karena itu, menurut Aminuddin, dapat disimpulkan bahwa komunikasi
presidensil itu sangat diperlukan. Terutama untuk memperkuat
penyelenggaraan negara dan mempertahankan stabilitas negara
sebagaimana dilakukan Presiden SBY dan Presiden Jokowi.
Aminuddin mengemukakan, bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, ada tiga saran yang dikedepankan. Pertama, komunikasi presidensil hendaknya dilakukan sesuai
prinsip-prisip negara hukum (rule of law) penyelenggaraan negara tipe
rezim presidensil yang mengenal mekanisme check and balanced. Kedua,
komunikasi politik presiden menurut UUD 1945 harus mematuhi ketentuan
yuridis tentang Mahkamah Konstitusi guna menyelesaikan sengketa hasil
hasil pemilu, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan konflik
kewenangan organ-organ negara menurut Prinsip Negara Hukum serta
pengadilan tata negara terhadap presiden.
“Ketiga, komunikasi politik presiden kedepan hendaknya tidak lagi
mempersoalkan landasan filosofis negeri, melainkan menyusun aspek
legislasi yang kuat dan terintegrasi dalam mencapai tujuan negara
secara obyektif. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspirasi
yang berkembang , baik melalui lembaga formal dan media alternatif,”
katanya.
(Haris)